Ia memutuskan berangkat ke pedalaman Papua. Pilihan itu ditentang keluarganya. Dua tahun ia tak ditegur sang ayah. Ia justru mendapat anugerah “Pahlawan Pendidikan”.
Teresa Rosa Dahlia Yekti Pratiwi menjadi satu dari sembilan tokoh pemenang program “Pahlawan untuk Indonesia 2016” dari MNCTV. Program ini bertujuan untuk memberikan penghargaan kepada sejumlah individu yang dinilai menginspirasi lingkungan di sekitarnya dengan berbagai kegiatan positif tanpa pamrih. Rosa mendapatkan penghargaan ini atas kiprahnya sebagai guru di beberapa daerah terpencil di Papua. Ini kali ketiga, ia mendapatkan penghargaan tingkat nasional.
Rosa berkisah, menjadi guru tak pernah terlintas di benaknya, meski sejak SMA ia tertarik ke Papua. Perjumpaan dengan buku Sokola Rimba karya Butet Manurung pada 2007 mengubah pandangannya. “Di situlah starting point saya tertarik menjadi guru di pedalaman,” ujarnya.
Kecintaan pada anak-anak mendorong Rosa, saat masih kuliah, ikut serta dalam sejumlah komunitas belajar-mengajar, misal di Perkampungan Sosial Pingit di Yogyakarta yang membantu anak-anak jalanan belajar membaca dan menulis. Lulus kuliah, Rosa bergabung dengan program Satu Buku untuk Indonesia.
Berjibaku
Pada 2013, Rosa lolos seleksi program mengajar di pedalaman yang diselenggarakan Yayasan SURE bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Lanny Jaya, Papua untuk membuat sekolah percontohan. Sekolah tersebut menyeleksi 30 anak dari sekolah-sekolah kampung kemudian dimasukkan asrama. Rosa ditempatkan di Distrik Tiom, ibukota Lanny Jaya.
Bulan pertama, Rosa harus berhadapan dengan kenyataan, peserta sekolah percontohan belum bisa membaca, menulis, dan berhitung. “Saya stres karena kemampuan anak-anak tidak sesuai dengan yang diharapkan.”
Kepala Dinas Pendidikan Lanny Jaya sempat marah dengan proses seleksi sekolah percontohan. Ia meminta anak-anak itu dikeluarkan. Rosa menolak seraya berjanji akan membuat anak-anak itu bisa membaca, menulis, dan berhitung. Rosa pun mati-matian mencari cara untuk membuat anak-anak itu bisa membaca dan menulis.
Di antara anak-anak itu, ada satu anak yang tidak tahu berbahasa Indonesia, apalagi membaca dan menulis. “Saya pusing, tiap hari selalu cari cara untuk mengajari dia dan beberapa temannya. Satu cara tidak berhasil, saya ganti yang lain,” kisah Rosa.
Setelah dua minggu, guru lain menyarankan anak itu dikeluarkan. Tapi Rosa kembali menolak dengan keyakinan bahwa anak itu bisa, meski ia belum menemukan metode yang tepat. “Kalau saya tidak bisa membuat anak-anak itu bisa baca-tulis, saya gagal jadi guru,” ujarnya.
Sebulan berselang, anak-anak itu mulai bisa membaca dan menulis, termasuk si bocah yang tak bisa berbahasa Indonesia. “Di Tiom saya membuktikan, anak-anak Papua adalah anak-anak yang cerdas. Mereka hanya membutuhkan kesempatan yang sama dengan anak-anak di luar Papua.”
Dalam satu semester, anak-anak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Mereka sudah bisa berbahasa Indonesia, membaca, dan menulis dengan baik. Untuk memudahkan proses belajar, Rosa juga belajar bahasa Lanny, bahkan membuat kamus bergambar bahasa Lanny-Indonesia. Pada semester kedua, bersama anak-anak, Rosa membuat buletin Elege Inone atau Suara Anak. Anak-anak yang mengerjakan buletin itu, mulai dari menulis cerita dan puisi, menggambar, serta memotret.
Tahun 2014, Pemerintah Daerah Lanny Jaya meminta Rosa merintis sekolah unggulan di Distrik Poga. Distrik ini sangat terisolir dari akses komunikasi. Di Poga, Rosa mendirikan perpustakaan Honai Pintar Poga.
Ketika pulang kampung, Rosa menceritakan ke teman-temannya tentang kondisi di Poga. Gayung bersambut, teman-temannya dari komunitas Satu Buku untuk Indonesia di Yogyakarta bergerak mengumpulkan buku dan alat tulis. Hanya dalam hitungan bulan, pada Mei 2015, mereka datang membawa 1000 buku dan 1000 alat tulis untuk anak-anak Poga.
Di tengah tugas mengajar di Poga, Rosa mendengar cerita bahwa SD Inpres Lualo yang harus ditempuh selama tiga jam dari Poga terpaksa tutup karena tidak ada guru. Anak-anak di Lualo sudah empat tahun tak sekolah. Cerita itu menggelisahkan hati Rosa. Namun ia tidak bisa membelah diri untuk mengabdi di dua tempat yang jauh jaraknya.
Juni 2015, Rosa dan dua koordinator sekolah unggulan lainnya, diberhentikan dengan alasan tak bisa meng ikuti sistem yayasan. “Saya anggap ini adalah jawaban dari Tuhan atas kegelisahan saya terhadap Lualo,” ujarnya.
Menghidupkan sekolah yang sudah empat tahun non aktif, kata Rosa, jauh lebih sulit daripada mengajari anak-anak Tiom membaca dalam satu bulan. Anak-anak di Lualo belum mengerti bahasa Indonesia, apalagi membaca dan menulis. “Hanya ada beberapa anak sering ke kota yang mengerti bahasa Indonesia. Itu yang kami pakai sebagai penerjemah jika kami butuh mengalihbahasakan penjelasan atau pengumuman.”
Selama setahun, umat Paroki Kristus Penebus Hepuba Papua ini mengajar kemampuan membaca, menulis, berhitung, berbahasa, dan kreativitas. Setiap Selasa, anak-anak diberi susu dan biskuit. Hari Sabtu mereka diajak menonton film di laptop dan mandi bersama di kali atau mata air.
Untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah dan penyediaan susu, biskuit, sabun, sampo, serta obat-obatan, ia menggalang donasi dari teman-temannya. Sedangkan Rosa menetap di Lualo dengan mengandalkan dana pribadi. “Kami tidak digaji oleh pemerintah.”
Keluarga Rosa di Magelang, Jawa Tengah sempat menentang keputusan Rosa. Selama dua tahun pertama, mendiang ayahnya enggan berbicara kepada Rosa. Ibunya setiap kali menelepon, meminta Rosa pulang. Namun bungsu dari lima bersaudara ini telah bulat tekad untuk melayani anak-anak di pedalaman Papua. “Saya percaya Tuhan membantu saya,” kata Rosa mantap.
Teresa Rosa Dahlia Yekti Pratiwi
TTL : Magelang, 13 November 1987
Orangtua : Soegeng Widodo dan Sri Maryanti
Pendidikan:
• SD Banyudono I Dukun (1994-2000)
• SMPN 7 Magelang (2000-2003)
• SMAN 2 Magelang(2003-2006)
• Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Pekerjaan:
• Pengajar Perkampungan Sosial Pingit (2007-2011)
• Pegiat Satu Buku untuk Indonesia (2011-sekarang)
• Pengajar di Tiom, Lanny Jaya, Papua (2013-2014)
• Pengajar di Poga, Lanny Jaya, Papua (2014-2015)
• Pengajar di Lualo, Lanny Jaya, Papua (2015-2016)
• Pengajar di Distrik Sawa Erma, Kabupaten Asmat (2016-sekarang)
Penghargaan:
• Pahlawan untuk Indonesia Bidang Pendidikan MNCTV 2016
• 45 Perempuan Penembus Batas Tembok, Majalah Tempo 2016
• 60 petualang Aku Cinta Indonesia detik.com 2011
Fr Benediktus Yogie Wandono SCJ
Sumber Tulisan: Majalah HIDUP Edisi 50 Tanggal 11 Desember 2016